banner 728x250

Bappenas Gelar FGD Terkait Pengembangan Industri Ikan Sidat Di Sulteng

FGD Pengembangan Industri Sidat Berkelanjutan Melalui Pengelolaan Sumber Daya dan Teknologi Produksi Hulu-Hilir Ikan Sidat Anguilla spp Provinsi Sulawesi Tengah

PALU Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Pusat bekerja sama dengan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), melaksanakan Forum Group Discussion (FGD) di Swiss-Belhotel, Kelurahan Silae, Kecamatan Ulujadi, Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng), Kamis (1/12).

FGD kali ini bertujuan melakukan  pengembangan industri ikan sidat berkelanjutan melalui pengelolaan sumber daya dan Tekhnologi produksi hulu-hilir ikan sidat (Anguilla spp), di Sulteng, terutama di Kabupaten Poso.

banner 970x250

Dalam sambutanya, Perencana Ahli Utama Bappenas Insinyur Tommy Hermawan MA, mengatakan pengembangan potensi jenis ikan sidat Anguilla di Sulteng memiliki prospek terang, apalagi di Kabupaten Poso yang memiliki danau begitu indah dan luas.

Olehnya, kata Tommy Hermawan, butuh keseriusan pemerintah setempat dalam hal ini Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Poso kerja sama dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Sulteng, untuk dapat membuat kebijakan dalam pengembangan ikan sidat berkelanjutan, dan tentunya selepas FGD, hal tersebut dapat secepatnya direalisasikan di lapangan.

“Setahu kami, Poso dengan danaunya yang sangat luas, kebaradaan ikan sidat Anguilla dalam melakukan pengembangbiakan sangat cepat, apa lagi kalau ditunjang dengan sumber daya manusia yang profesional, kami yakin pendapatan dari ikan sidat bisa memberikan dampak positif buat masyarakat, sekaligus juga buat Pendapatan Asli Daerah (PAD)”, kata Tommy Hermawan.

Tommy menambahkan, jenis ikan sidat Anguilla Marmorata atau jenis lainya perlu pemeliharaan dan budidaya secara serius. Sehingga bisa mencapai nilai tinggi dan dapat memenuhi permintaan pasar, serta memenuhi kebutuhan masyarakat setempat.

“Dan harus tetap dikontrol secara bersama baik itu dinas terkait maupun stakeholder, supaya tidak terjadi penurunan produksi ikan sidat di Sulteng, khususnya Kabupaten Poso”, tambah Tommy Hermawan.

Sementara itu Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Poso Drs Syarul Nasir MM menuturkan kegiatan FDG sangat penting diikuti untuk menambah wawasan terkait tata cara pemeliharaan dan pengelolaan secara teknologi ikan sidat.

Kedepan, kata Syarul Nasir, pihaknya sangat yakin bisa jadi Kabupaten Poso akan memilki sentral kegiatan budidaya ikan sidat. Mengingat, ikan sidat ini merupakan salah satu ikon unggulan dari sektor perikanan, sekaligus juga bakal jadi sumber pemasukan daerah.

“Kedepannya, kami yakin, Kabupaten Poso akan memiliki sentral kegiatan budidaya sidat”, katanya.

Menurut Syarul Nasir, saat ini telah dicanangkan program kampung sidat yang digalakan ke desa-desa di Kabupaten Poso bersama dinas terkait.
Namun, menurut Syarul Nasir, belum berjalan lancar.

“Tentunya dengan kehadiran Bappenas dan Kementerian Kelautan Perikanan di FGD, sekaligus bersama dengan pelaku usaha, praktisi dan akademisi serta pihak terkait lainnya, diharapkan bisa membangun sektor perikanan terutama ikan sidat yang lebih matang dan baik”, tutur Syarul Nasir.

Dalam kegiatan tersebut, selain praktisi dan pelaku usaha, hadir pula para peneliti serta akademisi dari perguruan tinggi kondang IPB dan Universitas Tadulako (Untad).

Dekan FPIK Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof. Dr.Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc. saat memberikan sambutan dalam kegiatan FGD, bertempat di Swiss-Belhotel, Kelurahan Silae, Kecamatan Ulujadi, Kota Palu.

Diantara akademisi turut hadir pada gelar FGD itu ialah Prof Dr Ir Fredinan Yulianda MSc, selaku dekan FPIK IPB dan Dr Ir Fadly Y Tantu MSi selaku dosen Fakultas Peternakan dan Perikanan Untad.

Dalam sambutannya, Fredinan Yulianda mengemukakan bahwa untuk mencapai keberlanjutan, permasalahan sidat Danau Poso bukan hanya persoalan tekanan penangkapan dan upaya meningkatkan keberhasilan budidaya.

Namun, kata Ferdinan, harus ada upaya-upaya terkoordinasi dan terintegrasi (dari hulu hingga ke hilir), sehingga dapat mempertahankan heritage dan icon Danau Poso sebagai danau purba dan sebagai ciri khas Kabupaten Poso.

Fredinan Yulianda juga berpendapat, bahwa potensi sumberdaya ikan sidat Sulteng diduga sangat tinggi, namun informasinya masih terbatas pada pemanfaatan Daerah Aliran Sungai (DAS) Poso.

“Potensi sumberdaya ikan sidat Sulteng sangat tinggi, namun informasinya masih terbatas pada pemanfaatan DAS Poso”, kata dekan FPIK IPB itu.

Sementara itu Dr Ir Fadly Y Tantu mengatakan, selain Kabupaten Poso, potensi besar perikanan sidat yang ada di Parigi Moutong (Parimo) dan Donggala perlu juga menjadi perhatian dari pihak terkait untuk pengembangan budidaya sidat.

Hal ini, kata Fadly, agar bisa menjadi nilai tambah bagi nelayan dan masyarakat sekitar.

“Potensi besar sidat yang ada di Parimo dan Donggala perlu juga menjadi perhatian. Saat ini di Parimo sedang dipersiapkan pembangunan Balai Benih Rakyat (UPR) yang juga akan berfungsi sebagai sekolah lapang konservasi dan budidaya sidat”, kata Fadly Y Tantu yang juga sebagai presiden Indonesian Consortium for Tropical Eels (ICTEs) itu.

Pemaparan Dr Ir Fadly Y Tantu dosen Fakultas Peternakan dan Perikanan Universitas Tadulako dan juga sebagai presiden Indonesian Consortium for Tropical Eels (ICTEs).

Fadly Y Tantu selaku Koordinator kerjasama Fapetken Untad, menekankan Sidat di Sulteng bukan hanya di Kabupaten Poso, namun juga berasal dari daerah lain seperti Parimo, Donggala, BuoL, Toli-Toli dan luwuk.

“Sebenarnya Sidat bukan hanya ada dan berasal dari Kabupaten Poso. Hanya saja, selama ini Sidat yang dilalulintaskan keluar dari Sulteng lebih didominasi olah sidat hasil tangkapan nelayan di perairan Parimo, Donggala, Toli-Toli , Buol, dan luwuk”, katanya.

Terkait potensi sidat, Fadly Y Tantu berharap agar pihak terkait dalam pengambilan keputusan dan kebijakan jangan berpatokan pada suatu wilayah saja.

“Terkait Sidat, diharapkan jangan hanya berpatokan pada Kabupaten Poso saja. Kalau di Poso saat ini sidatnya mulai berkurang, itu kerena banyak aspek dan jangan sampe kebijakan dan aturan yang diambil merugikan daerah lain yang masih memiliki sumberdaya sidat berlimpah”, pintanya.

“Mari kita bersama-sama saling mendukung untuk membangun daerah kita”, katanya lagi.

Sekedar informasi, ada beberapa poin hasil rumusan dari kegiatan FGD yang dapat dijadikan sebagai rekomendasi kepada pihak terkait dalam kerangka pengembangan industri sidat berkelanjutan melalui pengelolaan sumber daya dan teknologi produksi hulu-hilir ikan sidat anguilla spp sebagai high biodiversity value animal, dalam kerangka pelaksanaan SDGs 14 dan 15, yaitu:

1. Sumberdaya ikan sidat (Anguilla spp) merupakan sumberdaya yang dapat diperbaharui (renewable resources) yang saat ini menghadapi ancaman dari tekanan penangkapan, degradasi habitat, pencemaran, dan modifikasi aliran sungai. Upaya pemanfaatan, perlindungan dan tatakelolanya harus berdasarkan kepada prinsip science-based management, science-based economy dan science-based policy and governance.

2. Permasalahan Sidat Danau Poso saat ini bukan hanya permasalahan tekanan penangkapan dan upaya untuk meningkatkan keberhasilan budidaya, melainkan semua upaya-upaya yang terkoordinasi dan terintegrasi dari hulu hingga ke hilir untuk mencapai keberlanjutan, serta mempertahankan heritage dan ikon Danau Poso sebagai danau purba dan ciri khas Kabupaten Poso.

3. Potensi sumberdaya ikan Sidat Sulteng diduga sangat tinggi, tetapi informasinya masih terbatas pada pemanfaatan DAS Poso. Data potensi secara keseluruhan dan pemetaan sumberdaya glass eel belum tersedia, dan belum ada konektivitasnya dengan kemampuan atau kapasitas terpasang dari kegiatan budidaya, sehingga potensi penghamburan benih (dibuang atau mati percuma) sangat tinggi.

4. Upaya pembudidayaan sidat harus dilakukan secara terintegrasi dengan peningkatan produksi dan penyediaan individu-individu yang akan dilepasliarkan kembali (restocking). Ukuran individu, lokasi pelepasliaran, dan evaluasi serta monitoring keberhasilan restocking perlu dilakukan secara terencena.

5. Untuk mendukung industri budidaya dan pengolahan sidat secara berkelanjutan, maka perlu didukung oleh sistem data dan informasi, sistem hatchery aquaculture yang didukung oleh kebijakan yang menjamin ketersediaan benih untuk kontinuitas produksi dan mendukung restocking.

6. Kegiatan budidaya ikan sidat harus mengikuti prinsip zero waste. Limbah organik yang dihasilkan dari kegiatan budidaya sidat dapat diminimalisir dengan menerapkan budidaya sidat sistem trophic level aquaculture.

7. Pengembangan budidaya dan industri sidat yang terintegrasi antara upaya hulu-hilir, perlu dilakukan di lokasi penghasil benih (glass eel). Upaya pemeliharaan ikan sidat yang memakan waktu lama perlu dilakukan secara segmentasi budidaya. Sejalan dengan itu setiap segmen (glass eel-fingerling, fingerling-yellow eel dan yellow eel-silver eel) perlu dibuka keran pemasarannya.

8. Semua bentuk pemanfaatan dan perlindungan ikan sidat harus mengikuti konsep daya dukung (carrying capacity). Penangkapan yang ramah lingkungan dan penentuan kuota tangkapan memerlukan informasi potensi dan stok ikan sidat yang dapat ditopang oleh kemampuan habitat dan ekosistem untuk menggantikan spesies yang ditangkap.

9. Strategi konservasi dilaksanakan dengan menyiapkan kawasan konservasi pada setiap DAS, yang perencanaan, pelaksanaan dan evaluasinya dilakukan secara bottom-up dengan pendekatan co-management. Kawasan-kawasan tersebut digunakan sebagai lokasi untuk pembesaran benih dan pertumbuhan sidat yang merupakan bagian dari upaya Natural Production.

10. Tantangan utama dalam upaya mempertahankan keberlanjutan sumberdaya ikan sidat adalah menciptakan keterpaduan dalam hal Undang-Undang dan peraturan yang berlaku, peraturan teknis, kebijakan teknis, dan sinergitas kepentingan.

11. Regulasi dan kebijakan terkait perikanan sidat ini terkait kuota dan perizinan masih menjadi kendala bagi pengembangan budidaya dan bisnis ikan sidat. Kepastian regulasi dan kebijakan bagi dunia usaha sangat berpengaruh terhadap minat dunia bisnis untuk mengembangkan budidaya ikan sidat. Perlu dilakukan diskusi dua arah dengan pihak pemerintah untuk membuat kebijakan yang berpihak kepada masyarakat nelayan dan pelaku usaha agar berbagai kendala di atas dapat direduksi, namun semuanya masih berjalan dalam koridor pemanfaatan ikan sidat yang ditujukan untuk kesejahteraan rakyat dan berkelanjutan.

12. Manajemen budidaya yang baik (CBIB) pada setiap tahapan budidaya ikan sidat perlu dilakukan secara ketat karena menentukan keberhasilan kegiatan budidaya.

13. Ikan sidat, selain dimanfaatkan dagingnya yang bergizi tinggi, by-products-nya juga dapat dimanfaatkan termasuk kulit, hati, kepala, dan tulang yang menghasilkan collagen, steroid, antioksidan, dan komponen bioaktif lainnya. Produk olahan ikan sidat (dimsum, roti) adalah bentuk diversifikasi produk, yang hasil olahannya aman dimakan dan kandungan gizinya tinggi, serta dapat mencegah stunting. By-products ikan sidat (kepala, tulang, jeroan, hati) dibuat beberapa produk termasuk grill hati ikan sidat.

14. Hasil pengembangan industri sidat diorientasikan untuk meningkatkan konsumsi domestik dalam rangka membangun generasi yang sehat, kuat, dan cerdas, serta untuk memenuhi permintaan pasar global.

15. Perlu strategi yang terarah dalam meningkatkan nilai jual dan pemasaran dari produk olahan sidat Indonesia. Peluang pasar di Jepang untuk memasukkan produk olahan dari spesies bicolor dan marmorata, diharapkan meningkatkan budidaya dan bisnis ikan sidat, seiring dengan pelaksanaan aplikasi SIPJI, sosialisasi penanganan dan CBIB, dan peningkatan kesejahteraan. Hal ini dapat dicapai dengan melibatkan banyak pihak, berbasis riset, dan menjaga mutu produk sebaik-baiknya.

16. Dukungan SDM yang kuat pada semua sektor yang terlibat menjadi kunci utama kesuksesan. Untuk itu penyiapan SDM di tingkat operasional perlu dilaksanakan dengan pendampingan dari pakar dan praktisi. Perlu disiapkan SOP pada semua tahapan dan diterapkan sepenuhnya.

17. Koordinasi yang baik antar para pihak, dukungan kebijakan yang pasti dan kuat (termasuk memasukkan sidat sebagai spesies akuakultur prioritas), penegakkan hukum merupakan kunci utama bagi keberhasilan semua upaya dalam pemanfaatan sumberdaya ikan sidat berkelanjutan.

18. Dukungan komitmen dan kerjasama antar pemerintah (Bappenas, KKP, KLHK, PUPR, Kemendagri, Kemenkomarves, Kemenkeu, Kemenristek, BRIN), pemerintah daerah, perguruan tinggi, NGO, pihak swasta dan masyarakat untuk tindaklanjut dari hasil rekomendasi FGD ini sangat diperlukan antara lain dalam hal kebijakan, pendanaan, dan partisipasi aktif. (Handri)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *