Produk kosmetik ilegal yang dimaksud dapat dibagi menjadi dua jenis, yakni tidak memiliki izin edar dan memalsukan produk produsen lain.
PERHIMPUNAN Perusahaan dan Asosiasi Kosmetika Indonesia (PPAK) menduga 85% produk kosmetik yang beredar di pasar dalam negeri masuk dalam kategori ilegal. Jumlah produk kosmetik yang ilegal tersebut meningkat pesat dibandingkan proyeksi sebelumnya yakni di kisaran 20%.
Ketua Umum PPAK Solihin Sofian mengatakan maraknya produk kosmetik ilegal disebabkan tingginya penjualan produk kosmetik asing melalui marketplace atau secara daring. Produk kosmetik ilegal yang dimaksud dapat dibagi menjadi dua jenis, yakni tidak memiliki izin edar dan memalsukan produk produsen lain.
Produk kosmetik tersebut sulit terdeteksi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) karena barang yang dipesan dari luar negeri langsung dikirim ke rumah pembeli.
“Biasanya Badan POM melakukan (pengawasan) post-market. Kalau sifatnya (penjualan) online, kosmetika impor dari luar masuk ke pelabuhan dan langsung dipaket ke pembeli. Jadi, link (distribusi ini) sulit diawasi,” kata Ketua Umum PPAK Solihin Sofian dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi VI DPR, seperti dilansir, katadata.co.id, Senin (24/1).
Dalam pengawasan post-market, BPOM baru memeriksa produk obat dan makanan setelah keluar dari pabrikan dan beredar di pasar. Sofian memperkirakan modus itu membuat keberadaan produk ilegal di pasar domestik mencapai 80%-85%.
Sofian berujar proses verifikasi dugaannya terkait angka produk kosmetik ilegal akan sulit dilakukan karena pencatatan produk ilegal hanya dapat dilakukan saat telah tertangkap.
Berdasarkan data Badan POM, izin penerbitan kosmetika baru sepanjang 2021 mencapai 215 ribu produk, sementara itu, jumlah kosmetik ilegal yang dijaring mencapai 8.788 produk.
Pada Desember 2020, BPOM melakukan penyitaan terhadap penjual online di tiga lokasi yang menjadi gudang kosmetik impor ilegal. Dalam operasi tersebut, BPOM menyita puluhan ribu pieces kosmetik ilegal dengan nilai Rp 10 miliar.
Sofian menilai maraknya kosmetik ilegal di pasar domestik dapat merugikan masyarakat.
Pasalnya, produk tersebut tidak dijamin aman bagi tubuh lantaran tidak memiliki izin edar dari BPOM. Selain itu, produsen kosmetika legal akan mendapatkan kerugian dari praktik pemalsuan produk dari para oknum.
Sofian mengatakan kerugian yang dimaksud terutama adalah pencurian hak kekayaan intelektual (HKI). Terakhir, maraknya kosmetik ilegal berdampak langsung pada penurunan pendapatan pajak negara.
Sofian mengatakan para oknum penjual kosmetik ilegal sudah pasti tidak akan membayar pajak dan kepabeanan. Sebagai informasi, barang impor akan dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan bea masuk.
Untuk mencegah hal yang sama terulang, DPR menyarankan agar produk kosmetika legal disusun dalam sebuah katalog elektronik untuk mencegah hal ini terulang. Namun , Sofian menyatakan usulan itu tidak visibel untuk dilakukan pelaku industri kosmetika nasional.
“Biaya listing (di katalog elektronik) itu tinggi sekali, praktis tidak mampu dilakukan produk (buatan) IKM. Mungkin Rp 500 juta sampai Rp 1 miliar (biaya masuk di katalog elektronik), bagaimana bisa (dilakukan pelaku IKM)?” kata Sofian. (ind)