JANGAN terlalu banyak makan micin, nanti jadi bodoh. kalimat ini mungkin pernah Anda dengar, entah sebagai candaan atau justru serius menuding micin sebagai penyebab seseorang menjadi bodoh.
Micin atau Monosodium Glutamat yang kemudian dikenal dengan nama MSG adalah penambah rasa yang biasa ditambahkan ke berbagai makanan, sayuran kaleng, sup, hingga daging olahan.
Ahli Gizi Klinis di Rumah Sakit Melinda Bandung, Johanes Chandrawinata mengatakan MSG atau micin mengandung glutamat bebas sebanyak 74 persen, natrium 12 persen dan sisanya mineral. Glutamat bebas yang tinggi inilah yang menyebabkan micin terasa gurih, enak atau umami.
“Glutamat itu secara alamiah ada dimana-mana, ada di tomat, ada di hasil fermentasi seperti kecap, itu juga mengandung glutamat bebas, terasi juga kandungannya cukup tinggi, sekitar 1 gram per 100 gram terasi, makanya terasi itu gurih,” kata Johanes, seperti dilansir CNNIndonesia.com, Rabu (2/2).
Johanes juga menerangkan, antara micin buatan dengan micin alami tak memiliki efek samping yang berbeda terhadap kesehatan. Micin dan glutamat yang terkandung di dalamnya sama-sama berguna untuk metabolisme di usus.
“Glutamat ini digunakan sebagai sumber energi di usus, jadi metabolisme lebih tinggi dan mudah,” kata dia.
Dari mana MSG berasal?
MSG diproduksi dengan memfermentasi pati, bit gula, tebu, atau molase. Fermentasi adalah proses dimana ragi atau bakteri mengubah karbohidrat menjadi alkohol. Ini adalah proses yang sama yang digunakan untuk membuat yogurt dan makanan fermentasi sehat lainnya.
Seorang ilmuwan Jepang pertama kali mengisolasi MSG dari sup rumput laut pada tahun 1908. Dia kemudian mengajukan paten untuk memproduksi MSG yang mengarah pada produksi komersial penambah rasa.
Setelah produksi besar-besaran MSG dilakukan, penambah rasa ini mulai mendapat reputasi buruk.
Dilansir dari Healthline, ini dimulai sekitar tahun 1960-an ketika dokter Cina-Amerika Robert Ho Man Kwok menulis surat kepada New England Journal of Medicine bahwa dia sakit setelah mengonsumsi makanan Cina.
Dia yakin gejalanya bisa diakibatkan oleh konsumsi alkohol, natrium, atau MSG. Surat itu mengarah pada penunjukan gejala Kwok sebagai “sindrom restoran Cina,” yang kemudian dikenal juga dengan sebutan “kompleks gejala MSG”.
Belakangan, banyak penelitian mendukung reputasi buruk MSG, yang menyebutnya sebagai makanan sangat beracun.
Namun, bukti saat ini mempertanyakan keakuratan penelitian sebelumnya karena beberapa alasan, termasuk kurangnya kelompok kontrol yang memadai, ukuran sampel kecil, kelemahan metodologi, kurangnya akurasi dosis, penggunaan dosis yang sangat tinggi yang jauh melebihi yang dikonsumsi dalam diet.
Amankah konsumsi MSG?
Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) mengatakan MSG umumnya diakui aman. Meski demikian, mereka mewajibkan makanan yang mengandung tambahan MSG mencantumkannya di panel bahan sebagai monosodium glutamat.
Jika MSG ditemukan secara alami di beberapa bahan (protein nabati terhidrolisis, ragi terautolisis, ragi terhidrolisis, ekstrak ragi, ekstrak kedelai, dan isolat protein), maka produsen tidak perlu mencantumkan MSG pada labelnya. Konsumsi MSG juga tidak boleh berlebihan.
Mengapa orang berpikir MSG buruk untuk kesehatan?
Johanes menyebut belum ada bukti ilmiah apapun yang membenarkan pendapat bahwa micin bisa membuat seseorang menjadi bodoh.
Dia mencontohkan asupan msg dalam makanan di Amerika jumlahnya bahkan kurang dari satu gram per orang. Sementara di Jepang hampir dua gram per orang per hari.
“Lebih banyak dua kali lipat di Amerika, orang Jepang juga senang makan soyu dan kecap, tapi apakah mereka lebih bodoh, tentu tidak, ini bukti mitosnya salah,” kata dia.
Mitos lain yang dibantah Johanes adalah pemikiran bahwa MSG atau micin bisa menyebabkan kanker. Penelitian yang memperkuat mitos ini dilakukan terhadap tikus, padahal percobaan lain terhadap anjing justru terbukti salah.
Oleh karena itu, sesuai anjuran Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Johanes memastikan MSG tidak berbahaya dalam jumlah yang tak berlebihan. Bahan penambah rasa makanan ini bahkan masuk dalam kategori tambahan pangan yang aman.
“Jadi tidak ditentukan berapa banyak yang boleh dipakai, seperti kita pakai bahan pangan lain, kalau kebanyakan kan tidak enak, secukupnya saja,” kata dia.
Mungkinkah MSG baik untuk kesehatan?
Studi di Neuropsychopharmacology menemukan, konsumsi kaldu yang kaya umami dapat meningkatkan perilaku makan yang sehat terutama pada wanita yang berisiko obesitas.
Para peneliti mengevaluasi perubahan pada otak wanita setelah mengonsumsi kaldu ayam dengan atau tanpa MSG.
Para peneliti menemukan, kaldu dengan tambahan MSG menerangi area otak yang terhubung dengan kepuasan dan kontrol makan yang lebih baik.
Terlebih lagi, wanita yang mengonsumsi kaldu membuat pilihan yang lebih baik saat makan yakni lebih menyukai makanan dengan sedikit lemak jenuh.
Tak hanya itu, MSG juga diyakini bisa menjadi alat utama membantu mengurangi asupan garam. Penggunaan umami memungkinkan untuk mengurangi garam, khusus untuk MSG. Artinya, kadar natrium bisa dikurangi dengan tetap menjaga atau meningkatkan cita rasa suatu produk.
Pada dasarnya, MSG memang selalu dikaitkan dengan berbagai gejala kesehatan seperti sakit kepala, sesak, mati rasa, kesemutan atau terbakar di wajah, leher dan area lainnya, detak jantung yang cepat dan berdebar-debar, nyeri dada, hingga mual.
Namun, dilansir dari Mayo Clinic, para peneliti tidak menemukan bukti pasti tentang hubungan antara MSG dan gejala-gejala ini.
Meski demikian, para peneliti mengakui bahwa sebagian kecil orang mungkin memiliki reaksi jangka pendek terhadap MSG. Gejala biasanya ringan dan tidak memerlukan pengobatan. Satu-satunya cara untuk mencegah reaksi adalah dengan menghindari makanan yang mengandung MSG. (ind)