PARIGI | KORAN INDIGO – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membongkar sejumlah titik rawan korupsi pada pengerjaan proyek infrastruktur jalan di Indonesia. Titik rawan korupsi itu ditemukan dari hasil kajian terhadap beberapa kasus proyek infrastruktur yang pernah ditangani lembaga antirasuah tersebut.
“Temuan kajian menunjukkan kasus korupsi pada penyelenggaraan jalan didominasi adanya suap dan penyalahgunaan kewenangan,” ujar Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri melalui pesan singkatnya kepada koranindigo.com, (29/5).
Ali menguraikan titik rawan korupsi dalam penyelenggaraan jalan berdasarkan hasil kajian oleh lembaga antirasuah KPK.
Pertama, kata Ali, potensi korupsi biasanya terjadi pada tahap perencanaan dan penganggaran proyek infrastruktur. Dalam tahap ini, kata Ali, biasanya terjadi permintaan fee proyek.
“Korupsi pada tahap ini meliputi intervensi program yang melampaui kewenangan Pekerjaan Umum (PU), penyalahgunaan wewenang, suap dalam alokasi anggaran, dan permintaan fee,” bebernya.
“Serta perbuatan curang oleh pemborong atau pengawas dan penerima pekerjaan, serta penyelenggaran negara selaku pengurus/pengawas yang ikut dalam pemborongan dan ijon pekerjaan,” katanya lagi.
TERKAIT:
Menilik Celah Korupsi Proyek Jalan
Trik Korupsi Proyek Jalan
Untuk mengatasi masalah itu, KPK merekomendasikan agar Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kementerian PUPR) membuat regulasi yang mengatur tentang kepatuhan perencanaan.
“Kemudian, Kementerian PUPR membuat regulasi tentang pelaksanaan pembangunan infrastruktur di luar tusi PUPR dan perlu membangun manajemen perubahan pada sistem perencanaan anggaran agar terintegrasi dan transparan,” jelasnya.
Untuk titik rawan korupsi kedua, lanjut Ali, berada di tahap perencanaan teknis. Kata Ali, potensi korupsi di tahap ini meliputi kolusi dan hasil pekerjaan yang tidak sesuai dengan rancangan teknis Detail Engineering Design (DED) yang tidak detail.
“Serta, peningkatan harga (markup) dalam estimasi biaya Engineering Estimate (EE) yang rawan suap,” katanya.
Di tahap perencanaan teknis tersebut, KPK merekomendasikan Kementerian PUPR untuk membuat sistem informasi jasa konstruksi. KPK juga meminta agar Kementerian PUPR melakukan akreditasi ulang asosiasi existing.
Kementerian PUPR, asosiasi, dan LPJK menegakkan standardisasi sertifikasi dengan melibatkan BNSP.
PILIHAN EDITOR:
Aspal plus Lumpur Presevasi Bungku-Bahodopi Batas Sultra
Titik rawan korupsi ketiga adalah berada pada tahap pra-pembangunan. Di tahap ini, korupsi meliputi markup HPS, yaitu menyebabkan biaya tinggi dan tidak sesuai dengan kualitas konstruksi. Kemudian, pemenangan terhadap kontraktor tertentu, yaitu memanipulasi syarat lelang.
“KPK merekomendasikan agar pemerintah membentuk Unit Layanan Pengadaan (ULP) yang independen dan profesional. Kementerian PUPR perlu membangun data base harga satuan dan nilai kontrak, serta meminta Kementerian PUPR menyusun e-katalog sektoral untuk pekerjaan berulang,” urainya.
Terakhir, titik rawan korupsi proyek infrastruktur jalan berada di tahap pembangunan. Biasanya, korupsi yang terjadi di tahap ini meliputi manipulasi laporan pekerjaan, pekerjaan infrastruktur fiktif, dan ketidaksesuaian pekerjaan dengan kontrak.
“Mengatasi masalah ini, KPK merekomendasikan agar Kementerian PUPR membuat kebijakan dalam menegakkan independensi konsultan, serta perlu dibuatnya regulasi tentang pertanggungjawaban dalam hal keteknikan dan keuangan,” paparnya.
Dalam kesempatan ini, KPK mengajak masyarakat sebagai penerima manfaat dari pembangunan nasional agar turut memantau dan mengawasi pelaksanaan pembangunan tersebut.
Dengan demikian, diharapkan dapat mengurangi celah korupsi dalam proyek infrastruktur.
“Agar hasilnya memberikan dampak positif yang nyata bagi kemaslahatan dan kesejahteraan rakyat, dengan salah satu prasyaratnya tentu tidak adanya praktik-praktik korupsi yang bisa mendegradasi kualitas pembangunan nasional kita,” tutup Ali. MINHAR