PARIGI | KORANINDIGO – Pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 56/PUU-XVII/2019, bekas narapidana kembali memiliki peluang untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
Sudah pasti, putusan tersebut tidak luput dari kritik. Kekhawatiran utama adalah potensi kembalinya budaya korupsi dan terganggunya kepercayaan publik. Khususnya bagi para bekas napi kasus korupsi.
BERITA TERKAIT:
Polemik Bekas Napi Korupsi Nizar Rahmatu pada Pilkada Parimo 2024
Dikhawatirkan, para bekas narapidana, khususnya koruptor, akan kembali menggunakan kekuasaannya untuk memperkaya diri dan mementingkan golongan serta antek-anteknya.
Hal ini jelas membuka babak baru dalam pergulatan demokrasi di Indonesia, menghadirkan perdebatan dan pro-kontra di tengah kalangan masyarakat.
Di satu sisi, putusan MK ini dianggap sebagai pengembalian hak politik bagi para bekas narapidana. Bagi para bekas napi yang telah menyelesaikan hukuman berhak untuk berkontribusi dalam pembangunan bangsa.
Di sisi lain, muncul kekhawatiran terkait potensi penyalahgunaan kekuasaan dan kembalinya budaya korupsi jika mantan narapidana, khususnya koruptor, kembali menduduki jabatan publik.
Pada Putusan MK tersebut, ada ketambahan syarat baru bagi bekas narapidana yang ingin maju sebagai kepala daerah pada Pilkada 2024.
Syarat itu adalah, bahwa bekas napi koruptor harus menunggu 5 tahun setelah menyelesaikan hukumannya sebelum dapat mencalonkan diri.
Kemudian, calon kepala daerah yang merupakan bekas narapidana wajib secara terbuka dan jujur menyampaikan kepada publik tentang riwayat pidananya.
Lalu ketiga, bahwa ketentuan hal tersebut diatas tidak berlaku bagi bekas narapidana kasus kejahatan politik, pelanggaran HAM berat, dan kejahatan pada masa penjajahan.
MK dalam putusannya mempertimbangkan beberapa hal, di antaranya bekas narapidana berhak mendapatkan kesempatan untuk kembali ke masyarakat dan berkontribusi secara positif dan politik merupakan hak konstitusional yang tidak boleh dihilangkan begitu saja.
Sedangkan masa tunggu dan keterbukaan informasi yang harus dijalani, merupakan upaya pencegahan korupsi dan memperkuat akuntabilitas.
Perbedaan Tafsir
Perbedaan tafsir terkait penentuan terhadap ancaman pidana bagi bekas narapidana maju sebagai calon kepala daerah berhembus di kalangan masyarakat.
Khususnya bagi para bekas napi koruptor yang maju sebagai calon kepala daerah pada Pilkada Parigi Moutong 2024.
Salah satu bekas napi koruptor yang ikut dalam kontestasi Pilkada Parimo 2024 adalah M Nizar Rahmatu.
Keberadaan bekas napi korupsi Nizar Rahmatu jelas memantik berbagai reaksi serta spekuklasi di kalangan masyarakat Parimo.
Beredarnya foto surat berkop Kejaksaan Negeri (Kejari) Palu berupa Berita Acara Pelaksanaan Putusan Pengadilan tertanggal 15 Oktober 2019, menambah berbagai macam penafsiran.
Pada surat berita acara penahanan tersebut, tertuang adanya surat perintah untuk segera memasukkan N izar Rahmatu ke dalam rumah tahanan, ditandatangani oleh Kepala Rutan Klas II A Palu, tertanggal 15 Oktober 2019.
Beberapa kalangan menafsirkan, jika berdasar surat berita acara pelaksanaan putusan pengadilan, maka hingga sampai pada waktu penetapan (Tanggal 22 September), seharusnya Nizar Rahmatu belum selesai masa jeda 5 tahun, dari saat ia menjalani pidana penjara.
Surat berita acara pelaksanaan putusan pengadilan dari Kejari Palu, dianggap sebagai bukti otentik bahwa Nizar Rahmatu belum memenuhi syarat untuk ikut serta dalam Pilkada Parimo 2024 (sebagaimana pasal 17 PKPU Nomor 8 Tahun 2024).
Bahkan berdasar keterangan diperoleh dari sumber berkompeten, Nizar Rahmatu belum atau sama sekali tidak membayar uang denda dan uang pengganti dalam putusan perkara tersebut.
Pada surat berita acara, disebutkan bahwa jika terdakwa Nizar Rahmatu tidak melakukan pembayaran terhadap uang denda dan uang pengganti, maka Nizar harus menjalani kurungan pidana selama 5 bulan lamanya.
Artinya, ada tambahan pidana kurungan bagi Nizar karena tidak membayar denda dan uang pengganti pada perkara tersebut.
Sementara itu, Nizar yang juga Ketua KONI Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) ini memilih bungkam dan enggan menjawab terkait status bekas napi koruptor yang ia sandang dan kaitan dengan spekulasi beredar pada masyarakat.
Nizar memilih diam membisu bahkan melakukan aksi blokir aplikasi terhadap konfirmasi dilakukan wartawan, pada Jumat (20/9).
Bekas Napi Korupsi dalam Pilkada 2024
Bekas narapida kasus korupsi Moch Anton alias Abah Anton kembali mencalonkan diri sebagai Wali Kota Malang di Pilkada 2024.
Abah resmi mendaftar sebagai bakal calon wali kota, berpasangan dengan Dimyati Ayatullah, Rabu (28/8) lalu.
Anton yang merupakan Mantan Wali Kota Malang periode 2013-2018 ini mengaku bersyukur, karena kini ia didukung oleh ribuan masyarakat, tokoh, hingga ulama.
Anton pernah ditangkap KPK berdasar pengembangan perkara dugaan suap pembahasan APBD perubahan Pemkot Malang tahun anggaran 2015.
Dalam kasusnya, Anton terbukti memberikan janji atau hadiah kepada anggota DPRD Kota Malang hingga menyeret 41 anggota DPRD.
Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Surabaya menghukum Anton selama dua tahun penjara.
Dia juga didenda sebesar Rp 200 juta subsider empat bulan kurungan. Selain itu, Anton juga dicabut hak politiknya selama dua tahun terhitung setelah dia menjalani masa hukuman.
Anton kemudian dinyatakan bebas usai menjalani masa penahanan dua tahun subsider empat bulan pada 29 Maret 2020.
Bekas napi yang ikut dalam Pilkada 2024 adalah Agus Supriadi. Agus berpasangan dengan Aceng H M Fikri pada Pilkada Garut.
Agus Supriadi sempat tersandung kasus korupsi pada 2008 lalu. MA menjatuhkan vonis 10 tahun penjara.
Sementara Aceng Fikri diberhentikan dari jabatan bupati Garut karena kasus pernikahan singkat. (ind)