banner 728x250
HUKUM  

Kronologi Proyek Satelit, Kalah Arbitrase Rp800 M

PEMERINTAH Indonesia kalah dalam dua perkara gugatan arbitrase internasional dan wajib membayar lebih dari Rp 800 miliar. Gugatan itu diajukan dua perusahaan operator satelit yang pernah bekerja sama dengan Kementerian Pertahanan di masa Ryamizard Ryacudu menjabat menteri.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menduga adanya pelanggaran hukum dalam proyek satelit Kemenhan tersebut.

banner 970x250

“Dugaan pelanggaran terkait proyek Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan) pada 2015,” kata Mahfud dalam konferensi pers di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Kamis (13/1) lalu.

Dua perusahaan operator satelit yakni Navayo dan Avanti menang atas gugatan arbitrase internasional kepada pemerintah Indonesia. RI dianggap wanprestasi karena tak memenuhi kewajiban membayar sewa satelit yang ditempatkan di slot orbit 123 derajat bujur timur.

Pemerintah baru saja menerima putusan dari Arbitrase Singapura terkait gugatan perusahaan satelit Navayo. Putusan itu menyatakan bahwa pemerintah diharuskan membayar US$ 20,9 juta.

“Kewajiban yang US$ 20 juta ini nilainya mencapai Rp 304 miliar,” kata Mahfud.

Pada Juli 2019 pun RI kalah dalam gugatan arbitrase yang dilayangkan perusahaan operator satelit asal Inggris, Avanti Communications Group, dalam perkara yang sama.

Sejak 2017, Avanti melayangkan gugatan dengan tudingan pemerintah Indonesia wanprestasi karena belum memenuhi kewajiban membayar sewa satelit L-band Artemis.

“Pengadilan arbitrase menjatuhkan putusan yang berakibat negara telah mengeluarkan pembayaran untuk sewa Satelit Artemis, biaya arbitrase, biaya konsultan, dan biaya filing satelit sebesar ekuivalen Rp 515 miliar,” ujarnya.

Besarnya kerugian akibat proyek satelit tersebut, membuat Mahfud meminta Kejaksaan Agung (Kejagung) mengusut perkara tersebut. Jaksa Agung ST Burhanuddin pun mengatakan perkara ini segera naik ke penyidikan.

“Kami telah melakukan penelitian dan pendalaman atas kasus ini sudah hampir mengerucut. Insya Allah dalam waktu dekat naik penyidikan,” kata Burhanuddin.

Mahfud MD

Mahfud menjelaskan kasus ini bermula pada 19 Januari 2015 saat Satelit Garuda-1 keluar dari slot orbit 123 derajat Bujur Timur (BT) sehingga terjadi kekosongan pengelolaan oleh Indonesia. Berdasarkan peraturan International Telecommunication Union (ITU), negara yang telah mendapat hak pengelolaan akan diberi waktu tiga tahun untuk mengisi kembali slot orbit.

Apabila tidak dipenuhi, hak pengelolaan slot orbit akan gugur secara otomatis dan dapat digunakan oleh negara lain. Untuk mengisi kekosongan pengelolaan slot orbit 123 derajat BT itu, kata Mahfud, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) memenuhi permintaan Kemenhan untuk mendapatkan hak pengelolaan slot orbit 123 derajat BT guna membangun Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan).

Kemenhan kemudian membuat kontrak sewa Satelit Artemis yang merupakan floater (satelit sementara pengisi orbit), milik Avanti Communication Limited (Avanti), pada 6 Desember 2015. Pada saat itu persetujuan penggunaan slot orbit 123 derajat BT dari Kominfo belum diterbitkan.

Kominfo menerbitkan persetujuan pada 29 Januari 2016. Pada saat melakukan kontrak dengan Avanti pada 2015, Kemenhan pun belum memiliki anggaran untuk membiayai sewa satelit.

“Kontrak-kontrak itu dilakukan untuk membuat satelit komunikasi pertahanan dengan nilai yang sangat besar padahal anggarannya belum ada,” ujar Mahfud.

Untuk membangun Satkomhan, Kemhan juga menandatangani kontrak dengan Navayo, Airbus, Detente, Hogan Lovel, dan Telesat dalam kurun waktu tahun 2015-2016. Padahal anggarannya pada 2015 belum tersedia.

Anggaran Satkomham ini tersedia pada 2016. Namun, saat anggaran tersedia, Kemenhan melakukan “self blocking”.
Berdasarkan catatan Katadata, Avanti mengajukan gugatan arbitrase di London International Court of Arbitration pada Agustus 2017. Gugatan dilayangkan karena Kemenhan tidak membayar sewa satelit sesuai dengan nilai kontrak yang telah ditandatangani.

Mengutip dari situs Spacenews.com, Kementerian Pertahanan RI memiliki kontrak sewa Artemis dari Avanti senilai US$ 30 juta. Namun, Kemenhan baru membayar US$ 13,2 juta dan menyisakan tagihan US$ 16,8 juta.

Menghadapi gugatan arbitrase membuat Kemenhan mengembalikan hak pengelolaan slot orbit 123 derajat BT kepada Kominfo pada 25 Juni 2018.

Selanjutnya, pada 10 Desember 2018, Kominfo mengeluarkan keputusan tentang Hak Penggunaan Filing Satelit Indonesia pada orbit 123 derajat untuk Filing Satelit Garuda-2 dan Nusantara-A1-A kepada PT Dini Nusa Kusuma (PT DNK). Namun, PT DNK tidak mampu menyelesaikan permasalahan yang ditinggalkan Kemenhan.

Pada 9 Juli 2019, pengadilan arbitrase internasional London, Inggris menjatuhkan putusan yang mewajibkan RI membayar sewa Satelit Artemis, biaya arbitrase, biaya konsultan, dan biaya filing satelit sebesar Rp 515 miliar.
Kemudian baru-baru ini menyusul kabar RI kalah gugatan arbitrase dari perusahaan satelit Navayo dengan perkara yang sama.

Pemerintah wajib membayar sekitar Rp 304 miliar.
Mahfud memperkirakan angka kerugian dari gugatan proyek satelit ini akan bertambah besar karena masih beberapa perusahaan lain meneken kontrak dengan Kemenhan. Mereka yakni AirBus, Detente, Hogan Lovel, dan Telesat.

“Jadi banyak sekali nih beban kita kalau ini tidak segera diselesaikan,” kata dia. (ind)

banner 970x250

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *