Bencana pun dijadikan sebagai ladang korupsi. Para pelaku, dengan tega dan tanpa ragu, selewengkan dana dan proyek bantuan.
POTENSI korupsi tidak hanya pada saat fase bencana terjadi, tetapi juga sebelum dan sesudahnya. Jadi, paling tidak ada tiga titik rawan yang harus diwaspadai.
Pertama, fase prabencana. Pada fase ini, sasaran korupsi adalah proyek pengadaan atau pelatihan terkait dengan mitigasi bencana.
Kedua, fase saat bencana tengah terjadi atau fase tanggap darurat. Fase ini yang paling rawan karena proyek atau kegiatan dilakukan di tengah kesibukan membantu korban bencana.
Pengadaan-pengadaan harus dilakukan secara cepat dan masif. Pola-pola korupsi seperti penggelembungan (mark-up) harga dan manipulasi penerima bantuan mudah untuk dilakukan.
Ketiga, pascabencana atau fase rehabilitasi. Pada fase ini pun potensi korupsi sangat besar sebab melibatkan uang yang begitu banyak, terutama untuk kegiatan rehabilitasi atau pembangunan hunian tetap dan hunian sementara.
Selain suap, modus korupsi lainnya adalah mark up, pembangunan fiktif, atau pengurangan spesifikasi.
Minimnya pengawasan merupakan penyebab utama yang membuat bantuan terkait bencana begitu rentan diselewengkan.
Semua lebih memilih berkonsentrasi mencari dan menyelamatkan korban, serta mengumpulkan dan mendistribusikan bantuan.
Apalagi banyak yang meyakini bahwa tidak akan ada orang yang tega dan berani mencari keuntungan dari bencana.
Kondisi tersebut ditambah informasi mengenai bantuan bencana yang cenderung tertutup.
Selain pengawasan, faktor lain adalah keleluasaan bagi pemerintah melakukan penunjukan langsung dalam pengadaan bantuan, khususnya pada fase tanggap darurat.
Mekanisme ini bisa dengan cepat merespons kebutuhan korban jika dibandingkan proses tender, tetapi sangat rawan penyelewengan. Tanpa ada pengawasan, kolusi dalam penentuan pemenang, mark up harga, ataupun manipulasi distribusi bantuan sangat mungkin terjadi.
Jadi, sangat jelas, korupsi memperburuk dampak bencana dan memperberat derita para korban.
Praktik tercela itu menjadi biang keladi atas kegagalan upaya meminimalkan kerusakan dan jumlah korban.
Termasuk menghambat proses rehabilitasi pascabencana, terutama dalam pembangunan hunian dan fasilitas umum.
Salah satu upaya untuk memerangi korupsi bencana adalah memberikan sanksi berat kepada para pelaku.
Terlepas dari usulan penerapan hukuman mati, hukuman berat bisa menjadi salah satu cara agar muncul efek jera.
Hukuman penjara maksimal hingga pemiskinan akan membuat siapa pun berpikir ulang untuk menyalahgunakan bantuan bencana. Undang-Undang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi sudah membuka ruang itu.
Selain sanksi, meningkatkan pengawasan dan tata kelola dana bencana juga jadi kebutuhan penting. Jangan karena dalih bencana, semua pengadaan dan kegiatan dibuat serba tertutup.
Pemerintah bisa belajar dari lembaga atau kelompok masyarakat yang secara swadaya mengumpulkan dan menyalurkan bantuan setiap kali terjadi bencana. Secara rutin dan terbuka mereka mengumumkan donasi dan penggunaannya.
TANDA BAHAYA
Terlepas dari berbagai dampak buruk, korupsi bencana juga bisa menjadi tanda bahaya. Ini juga menunjukkan bahwa korupsi mulai tidak terkendali dan menyebar ke banyak sektor.
Apabila tidak diperangi secara serius, bukan tidak mungkin kondisinya makin parah. Merujuk Syed Hussain Alatas (1981), korupsi bisa masuk stadium tiga atau stadium gawat darurat. Ia menyebar secara luas, berlangsung sistematis, dan saling menghancurkan.
Bencana korupsi akan menimbulkan bencana besar yang jauh lebih besar. Pelayanan publik terganggu, biaya politik makin mahal, kemiskinan, hingga rusaknya lingkungan hidup.
Bahkan sudah banyak contoh negara yang gagal karena tidak bisa mengontrol korupsi.
Komitmen kuat dari pemimpin negara dan keterlibatan semua pihak dalam perang melawan korupsi jadi kunci penting untuk mencegah bencana korupsi.
Indonesia sudah memiliki modal seperti KPK yang terus membongkar berbagai kasus korupsi politik dan strategi nasional pencegahan korupsi (Stranas PK), yang bisa menjadi panduan sekaligus sinergi semua kelompok untuk mencegah dan melawan korupsi.
Aktor-aktor ini menyalahgunakan kewenangannya karena merasa ada kesempatan dengan minimnya pengawasan dikarenakan status kejadian luar biasa.
Beberapa lembaga yang berwenang terhadap pengelolaan dana bencana menurut UU 24 Tahun 2007 yakni pemerintah pusat, pemerintah daerah, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD).
Diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2008, wewenang pengelolaan dana bencana ada juga dalam lembaga terkait dengan penanggulangan bencana, seperti Kementerian PUPR, Kemenag, dan DPRD.
Berdasarkan titik rawan korupsi dana bencana, pemerintah harus memprioritaskan koordinasi, pengawasan, pengelolaan dana, serta audit.
Jika terjadi penyalahgunaan kewenangan dalam penanganan dana bencana, maka harus ditindak tegas. Pasal 2 Undang-Undang No 31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi menyatakan hukuman maksimal dapat diterapkan dalam keadaan tertentu.
Keadaan tertentu adalah keadaan yang mana tindak pidana dilakukan terhadap dana bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, krisis, ataupun kerusuhan.
Sedangkan hukuman maksimal dapat berupa pidana penjara seumur hidup atau maksimal 20 tahun, denda Rp 1 miliar, bahkan sampai pidana mati. Selain itu, perlu perbaikan tata kelola dana bencana oleh pemerintah.
Mengingat bencana alam adalah keniscayaan yang tidak dapat dihindari Indonesia karena letak geografis, tindakan pencegahan, tanggap darurat, dan rehabilitasi harus diatur sedemikian rupa sehingga dapat meminimalisir kesempatan penyalahgunaan dana bencana.
(*Ind/dikutip dari berbagai sumber)