INDONESIA Corruption Watch (ICW) mencatat menemukan jumlah kasus dan kerugian negara akibat korupsi Pengadaan Barang/Jasa (PBJ), khususnya pembangunan infrastruktur, setiap tahun masih tinggi.
Pada 2022, ada 250 dari 579 total kasus korupsi yang ditindak aparat penegak hukum berkaitan dengan PBJ. Dari 250 kasus itu, 58 persen di antaranya merupakan PBJ infrastruktur, termasuk pembangunan jalan dan jembatan.
ICW yakin korupsi infrastruktur lebih tinggi di lapangan dibanding angka penindakan yang dilakukan penegak hukum.
Pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah melihat maraknya kasus korupsi di proyek infrastruktur terjadi lantaran tata kelola yang tidak baik, dari mulai perencanaan hingga pengawasan proyek.
“Dalam hal ini Kementerian PUPR dan para pemenang tender harusnya menerapkan tata kelola good corporate. Tapi itu ternyata lemah sekali mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai pengawasan, jadi penuh dengan pelanggaran integritas,” kata Trubus Rahadiansyah.
Trubus mengatakan pelanggaran integritas oleh pihak-pihak yang terlibat dalam proyek infrastruktur merupakan masalah klasik yang kerap terjadi. Mengerutnya, akar masalah bukan terjadi pada sistem, melainkan sumber daya manusia (SDM).
Ia menambahkan pelanggaran integritas juga dipicu oleh tenggat waktu pengerjaan yang sering dikebut, khususnya untuk Proyek Strategis Nasional (PSN). Akibatnya, pengawasannya lemah.
Trubus mengataakan pengawasan proyek sebenarnya dilakukan oleh berbagai pihak, seperti kepolisian, kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Tapi kan kembali persoalannya pada moralitas masing-masing lembaga,” katanya.
Menurut Trubus, ada tiga hal yang harus dilakukan, khususnya oleh Kementerian PUPR selalu regulator, agar kasus korupsi proyek infrastruktur tidak terulang.
Pertama, memperbaiki tata kelola mulai dari perencanaan hingga pengawasan. Terkait pengawasan, ia mengatakan Kementerian PUPR mesti bersinergi dengan aparat penegak hukum.
Kedua, pembenahan SDM yang terlibat proyek. Ketiga, meningkatkan partisipasi publik.
DIMULAI DARI PERENCANAAN
KPK dalam kajiannya mendapati praktik korupsi infrastruktur dimulai dari proses perencanaan, penganggaran, sampai dengan pengawasan.
“Adapun modus korupsi terbanyak adalah suap dan penyalahgunaan kewenangan,” kata juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Ipi Maryati, belum lama ini.
Beberapa kasus korupsi terkait infrastruktur yang pernah ditangani KPK meliputi suap proyek pembangunan jalan di Kabupaten Bengkalis tahun 2020; suap dana peningkatan ruas jalan Kemiri-Depapre, Provinsi Papua 2017; suap Dana Alokasi Khusus (DAK) Pembangunan dan Perawatan Jalan di Sumatera Barat 2016.
Berikutnya ada kasus penerimaan hadiah atau janji penyelenggara negara terkait proyek pekerjaan infrastruktur di Kabupaten Kepulauan Talaud tahun 2014- 2017; suap Bupati Musi Banyuasin 2017-2022 dkk terkait dengan proyek-proyek di lingkungan Dinas PUPR Kabupaten Musi Banyuasin TA 2021.
KPK menyebutkan, dari hasil SPI 2022 diketahui masih terdapat delapan titik rawan korupsi di PUPR. Kedelapan titik rawan korupsi itu meliputi risiko kejadian suap dan gratifikasi, keberadaan trading in influence, serta penyalahgunaan dalam pengelolaan pengadaan barang dan jasa.
Terkait korupsi proyek jalan, teranyar, ialah KPK melakukan kegiatan tangkap tangan dugaan tindak pidana korupsi berupa suap dalam proyek pengadaan jalan di wilayah Kalimantan Timur (Kaltim) pada November 2023.
Penangkapan tersebut dilakukan di Kantor Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional (BBPJN) Kaltim terhadap 11 orang, dengan ditemukan uang tunai sekitar Rp525 juta sebagai sisa dari nilai Rp1,4 Miliar yang diberikan dalam dugaan suap itu.
KPK menetapkan lima orang Tersangka yaitu NM selaku Direktur CV BS, ANR pemilik PT FPL, HS Staf PT FPL, RF Kepala Satuan Kerja BBPJN Kaltim tipe B, dan RS selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) proyek.
Para Tersangka selanjutnya dilakukan penahanan untuk 20 hari pertama terhitung mulai tanggal 24 November s.d 13 Desember 2023 di Rutan KPK.
Dalam konstruksi perkaranya, pada tahun 2023 sesuai data e-katalog dianggarkan dana yang bersumber dari APBN untuk Pengadaan Jalan Nasional Wilayah I di Provinsi Kaltim, diantaranya untuk proyek peningkatan Jalan Simpang Batu-Labuan senilai Rp49,7 Miliar dan preservasi Jalan Kerang-Lolo-Kuaro senilai Rp1,1 Miliar.
Tersangka NM, ANR, dan HS melakukan pendekatan kepada RS agar dimenangkan dalam proyek tersebut dengan kesepakaan adanya pemberian sejumlah uang. RS lalu menyampaikan kepada RF yang kemudian menyetujuinya.
Selanjutnya RF memerintahkan RS memenangkan perusahaan NM, ANR, dan HS dengan manipulasi beberapa item di e-katalog Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP).
Adapun besaran pembagian uangnya yaitu RF mendapatkan 7 persen dan RS persen dari nilai proyek.
Pada Mei 2023 NM, ANR, dan HS memulai pemberian uang secara bertahap hingga mencapai sekitar Rp1,4 Miliar, yang diantaranya digunakan untuk acara Nusantara Sail 2023.
Tersangka NM, ANR, dan HS sebagai Pihak Pemberi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UU RI No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sedangkan Tersangka RF dan RS sebagai Pihak Penerima disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 UU RI No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU RI No. 31 Tahun 1999 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sistem pengadaan barang/jasa elektronik seharusnya digunakan untuk efektivitas dan efisiensi pengadaan barang/jasa agar prosesnya transparan. Tidak untuk dimanipulasi demi kepentingan pihak tertentu melalui praktik- praktik korupsi. (dari berbagai sumber-ind)