banner 728x250
RAGAM  

Opini WTP Bukan Jaminan Bebas Korupsi

OPINI Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kepada kementerian, lembaga, hingga pemerintah daerah tidak menjamin bebas korupsi. Pemberian opini BPK biasanya hanya didasarkan audit berbasis sample, dan kasus korupsi seperti suap masih mungkin terjadi meski BPK sudah melabeli dengan opini WTP.

KEPALA Perwakilan BPK Provinsi Sulawesi Utara Arief Fadillah mengatakan opini wajar tanpa pengecualian (WTP) yang diberikan BPK bukan menjamin laporan keuangan bebas kecurangan.

banner 970x250

“Opini WTP merupakan pernyataan profesional pemeriksa mengenai kewajaran penyajian laporan keuangan dan bukan merupakan jaminan bahwa laporan keuangan yang disajikan oleh pemerintah sudah terbebas dari adanya fraud atau tindakan kecurangan lainnya,” kata Arief di Manado, Kamis (18/5) lalu.

Kriteria digunakan untuk memberikan opini terhadap kewajaran laporan keuangan adalah kesesuaian dengan standar akuntansi pemerintahan, kecukupan pengungkapan, kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan serta efektivitas sistem pengendalian internal.

**

MENTERI Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD juga melontar penilaian bahwa status WTP tidak menjamin integritas suatu lembaga.

Dalam cuitan di akun Twitter pribadinya, Mahfud menjelaskan status WTP tidak menjamin sebuah lembaga bebas dari korupsi hanya dengan menilai kesesuaian antara transaksi dan buku laporan keuangan.

“WTP tak jamin tak ada korupsi. Sebab WTP hny menilai kesesuaian antara transaksi dan buku LK [laporan keuangan],” tulis Mahfud, beberapa waktu lalu.

PILIHAN EDITOR:
Syarat Penangguhan Penahanan Dalam Proses Perkara Pidana
Akhir Perjalanan Syahwat 11 Pria di Parimo

Hal tersebut, lanjut Mahfud, dapat dibuktikan dengan dua hakim Mahkamah Konstitusi (MK) kini berstatus tersangka korupsi. Padahal, lembaga tersebut 14 kali menerima status WTP.

Menkopolhukam, Mahfud MD

Selain MK, Mahfud juga menyebut institusi lain seperti Mahkamah Agung (MA), kementerian/lembaga (K/L), pemerintah daerah (Pemda), serta DPR RI/DPRD, yang masih tidak bisa lepas dari jerat kasus korupsi meski sudah mendapatkan status WTP.

**

MENTERI Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa predikat wajar tanpa pengecualian (WTP) di setiap laporan keuangan tidak menjamin bebas dari tindakan korupsi.

Predikat WTP yang diberikan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas laporan keuangan suatu institusi hanya sebagai tanda bahwa proses yang disusunnya telah sesuai standar akuntansi yang berlaku.

Oleh karenanya, predikat WTP tidak menjamin bahwa sebuah institusi terlepas dari tindakan korupsi, atau pemborosan dalam menyusun anggaran.

**

FORUM Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menilai, opini WTP tak menjamin instansi pemerintah bebas dari korupsi. Pasalnya, status WTP sendiri masih rentan korupsi dan kongkalingkong pejabat publik.

“Opini WTP hanya bersifat administratif dan tidak menjamin bebas dari penyimpangan. Masyarakat jangan mau dibodohi dengan opini WTP palsu,” ujar Sekjen FITRA Misbah Hasan.

Sekjen FITRA Misbah Hasan.

Contohnya, operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kepada Bupati Bogor Ade Yasin pada April 2022 lalu.

Ade Yasin melakukan tindak pidana korupsi pemberian suap terhadap jajaran pemeriksa BPK Perwakilan Jawa Barat untuk melakukan audit pemeriksaan interim (pendahuluan) atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) 2021 Pemerintah Kabupaten Bogor untuk tujuan meraih predikat WTP.

Kasus serupa juga pernah menimpa Kemendes PDTT pada 2017 lalu. Inspektur Jenderal Kementerian Desa PDTT menyuap Auditor Utama Keuangan Negara III BPK dan Kepala Sub Auditorat III Auditorat Keuangan Negara sebesar Rp240 juta untuk pemberian opini WTP.

Menurut Misbah, prasyarat untuk mendapatkan WTP sebenarnya cukup ketat. Antara lain memenuhi kesesuaian standar akuntansi pemerintahan dan kelengkapan kecukupan pengungkapan.

Lalu kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan serta efektivitas sistem pengendalian intern.

Namun, kata Misbah, prasyarat tersebut bukanlah perkara sulit bagi instansi bermental korup.

Misbah lantas membeberkan alasan instansi pemerintah berani menyuap demi mendapatkan opini WTP.

Menurut dia, selama ini WTP menjadi gambaran dari kinerja akuntabilitas pengelolaan keuangan publik. Selain itu, status WTP bisa meningkatkan kepercayaan masyarakat atas kepemimpinan kepala daerah.

Bahkan, status WTP juga bisa menjadi alat untuk memuluskan kepentingan para kepala daerah. Salah-satunya untuk mendapatkan Dana Insentif Daerah (DID) dari pemerintah pusat.

Oleh sebab itu, FITRA menegaskan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mutlak memerlukan penguatan integritas pejabatnya.

**

SENADA dengan FITRA, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Egi Primayogha mengatakan, predikat WTP laporan keuangan tidak menjamin sebuah wilayah bebas dari korupsi.

Sebabnya, tutur Egi, predikat itu diberikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas laporan keuangan yang telah sesuai dengan aturan perundang-undangan atau sesuai standar pelaporan keuangan negara (SPKN).

Dalam pandangan Egi, dugaan korupsi seperti kasus melibatkan Bupati Bogor Ade Yasin dan empat anggota BPK Jawa Barat menunjukkan bahwa instrumen pengawasan internal milik BPK gagal.

Ia menilai praktik jual beli predikat WTP hanya digunakan untuk menjaga gengsi atau membohongi publik.

**

PEMERHATI anggaran Nandang Suherman menjabarkan bahwa raihan Opini WTP oleh suatu pemerintah daerah (pemda) hanya akan menjadi tameng terhadap problem pemerintahan hari ini.

Raih Opini WTP berturut-turut dari BPK RI atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD), tidak menjamin bahwa pemda tersebut bebas dari korupsi.

Pemberian Opini WTP merupakan apresiasi dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI atas hasil pemeriksaan LKPD.

Menurut Nandang, Opini WTP BPK itu menunjukkan kewajaran informasi laporan keuangan. Bukan secara spesifik menyatakan bahwa LKPD yang mendapatkan Opini WTP telah bebas dari korupsi.

“Apabila suatu laporan keuangan mendapatkan Opini WTP, selayaknya tata kelola keuangan entitas tersebut secara umum telah baik. Tapi faktanya bagaimana?”, katanya.

Nandang Suherman menyebut auditor BPK mengaudit semua hal terkait pencatatan keuangan, besaran berapa, dan penggunaannya untuk apa serta bukti-bukti seperti kwitansi dan lain-lain.

Ia menyebut BPK mengaudit LKPD dengan sampling. Karena sampling maka seringkali hal-hal yang berbau dugaan korupsi tidak menjadi sampel. (Ind/dari berbagai sumber)

 

 

 

banner 970x250

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *