TUJUH ribuan anak usia 7-21 tahun di Kabupaten Parigi Moutong (Parimo) berstatus putus sekolah. Hal tersebut diungkapkan Sekretaris Badan Perencanaan Pembangunan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Bappelitbangda), Krisdariadi Ponco Nugroho pada kegiatan seminar hasil verifikasi data pensasaran percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem (P3KE) pada bidang pendidikan Khususnya anak putus sekolah, Senin (27/3) lalu.
Ponco Nugroho menyatakan terdapat 7.984 anak usia 7-21 tahun di Parimo berstatus putus sekolah. Sedangkan anak yang masih bersekolah sebanyak 25.556 orang.
Tingginya angka putus sekolah tersebut, kata Ponco, menjadi tantangan bagi Pemerintah Daerah (Pemda) Parimo untuk segera melakukan intervensi.
Dirinya berharap (dari data tersebut) Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) Parimo dapat melakukan pendalaman, apa yang menjadi penyebab ribuan tersebut tidak mendapatkan akses pendidikan.
BERITA TERKAIT:
Ribuan Anak SMA di Sulteng Putus Sekolah, 647 Asal Parimo
Sulteng Target SMA Terapkan Kurikulum Merdeka pada 2027
“Kewajiban Pemda tidak hanya mengatasi jumlah anak yang tidak sekolah, akan tetapi jumlah anak yang melanjutkan pendidikan dari SD sampai SMA juga harus terpantau dan diikuti jejak pendidikanya, kenapa mereka tidak melanjutkan untuk mendapatkan hak pendidikanya”, kata Ponco, dikutip dari Sultengraya.
Parimo Tertinggi Anak SMA Putus Sekolah
SEMENTARA itu, berdasar Data Pokok Pendidikan (Dapodik) Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Sulawesi Tengah (Sulteng), per awal Mei 2023, ada 4.509 siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sederajat berstatus putus sekolah. Dan, 647 orang diantaranya dari Parimo.
Per awal Mei 2023, angka siswa putus sekolah tertinggi berada di Parimo mencapai 647 orang. Kemudian Kota Palu sebanyak 485 orang, Kabupaten Donggala 485 orang, Buol 451 orang, Tojo Una-una 450 orang, Banggai 390 orang, Sigi 366 orang, Poso 305 orang, Tolitoli 270 orang, Morowali 236 orang, Morowali Utara 168 orang, Banggai Kepulauan 131 orang, dan Banggai Laut 125 orang.
Kepala Disdikbud Sulteng, Yudiawati Vidiana mengatakan pihaknya sedang berupaya untuk mengajak kembali anak putus sekolah agar dapat kembali belajar dengan cara mengunjungi rumah mereka.
Sedangkan bagi anak yang tidak ingin melanjutkan pembelajaran di sekolah, Disdikbud juga tetap berupaya untuk mendorong anak tersebut mengikuti program kesetaraan pendidikan paket C.
Menurut Yudiawati, banyaknya anak SMA di Sulteng putus sekolah, dikarenakan adanya proses pembelajaran tidak tatap muka saat pandemi Covid-19, dimana saat itu semua pembelajaran dilakukan secara digital menggunakan aplikasi telepon genggam (gadget) atau laptop.
Menurutnya tidak semua siswa memiliki kesempatan untuk mengakses atau memiliki gawai guna melakukan proses pembelajaran tidak tatap muka, khususnya untuk mereka yang tinggal di daerah pinggiran.
Adapun faktor lain, kata Yudiawati, yaitu faktor ekonomi. Saat terjadi pandemi Covid-19 banyak orang kehilangan pekerjaan, sehingga tidak dapat lagi membayar iuran sekolah anak-anaknya alias menunggak iuran. (Ant/Ind)