Oleh: Arif Wibowo* dan Yefni Widria**, *Analis Pasar Hasil Perikanan (APHP) Muda, **Analis Pasar Hasil Perikanan (APHP) Madya pada Direktorat Pengolahan dan Bina Mutu Ditjen Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan.
Indonesia diberkahi dengan kondisi geografis dan iklim yang memungkinkannya menjadi surga perikanan dunia. Tidak hanya dari sisi volume dimana Indonesia merupakan produsen perikanan terbesar kedua dunia, tetapi juga dari sisi keragaman hayati dengan 8.500 spesies ikan yang merupakan 37% dari total spesies ikan dunia (Sutardjo, 2014). Berbagai ikan dengan nilai ekonomis tinggi dapat ditemukan di Indonesia, termasuk yang belum umum dikonsumsi masyarakat Indonesia namun diminati oleh masyarakat global seperti sidat.
Sidat (Anguilla spp.), yang mengalami beberapa fase dalam hidupnya, hidup di dua habitat yaitu perairan laut saat fase larva dan perairan daratan (payau dan tawar) selama fase juvenile hingga dewasa. Hewan air yang bentuknya mirip belut ini dapat ditemukan di berbagai belahan bumi mulai dari daerah tropis sampai subtropis.
Para ahli telah menginventarisir paling sedikit terdapat 17 spesies sidat yang dikelompokkan menjadi sidat tropis dan sidat sub tropis sesuai daerah hidupnya. Di Indonesia sendiri terdapat 6 spesies sidat yang tersebar di pantai selatan Pulau Jawa, pantai barat Pulau Sumatera, pantai timur Pulau Kalimantan, seluruh pantai Pulau Sulawesi, Kep. Maluku, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur hingga pantai utara Papua (Affandi, 2016).
Di luar bentuknya yang mungkin kurang menarik bagi sebagian orang, sidat ternyata memiliki rasa yang khas dan lezat serta kandungan nutrisi yang baik seperti protein, lemak, Omega 3, vitamin A, serta asam lemak tak jenuh (EPA dan DHA) (Nafsiyah, Nurilmala, & Abdullah, 2018). Bahkan di beberapa negara tertentu, (Noor & Abidin, 2009) khususnya Asia Timur serta beberapa negara Eropa, komoditas ini menjadi salah satu kuliner favorit dan berkelas dengan harga jual yang cukup tinggi. Hal ini menjadikan sidat sebagai salah satu komoditas perikanan yang diminati di pasar internasional.
Di pasar global, sidat diperdagangkan dalam tiga bentuk yaitu hidup, segar, dan beku dengan HS Code 030192, 030274, dan 030326 (Noor & Abidin, 2009). Dari sisi ukuran pasar (market size), permintaan sidat memang tidak terlalu besar. menurut data trademap permintaannya dalam lima tahun terakhir berada di kisaran 17.000 – 21.000 ton, dengan mayoritas berupa sidat hidup, sebagaimana yang terlihat pada grafik 1. Angka ini tentunya tidak seberapa bila dibandingkan dengan komoditas perikanan lain yang lebih populer seperti udang, tuna, ataupun cumi-cumi, yang dalam satu tahun permintaan pasarnya mencapai ratusan ribu atau bahkan jutaan ton.
Dari sebaran negara konsumen, pasar sidat pun didominasi oleh beberapa negara saja antara lain Jepang, China, Korea Selatan, dan Belanda. Permintaan dari keempat negara tersebut mencakup 70% dari total permintaan sidat dunia, sebagaimana yang terlihat pada gambar 1.
Namun demikian, bila melihat nilainya, sidat memiliki potensi yang sangat menarik. Pada tahun 2020, nilai impor sidat mencapai sekitar USD 530 juta atau sekitar Rp.7,4 triliun dengan kurs 1 USD = Rp.14.000,-. Lebih lanjut, bila dibandingkan nilai total dengan volumenya atau nilai per unit (unit value), angkanya pun cukup menggiurkan sebagaimana terlihat pada tabel 1. Dari tabel tersebut dapat terlihat bahwa unit value impor sidat dalam lima tahun terakhir selalu berada di atas Rp.240.000/ Kg.
Table 1 Unit Value Impor Sidat 2016 – 2020
Di sisi lain, tingginya nilai ekonomis dengan permintaan global yang relatif stabil menimbulkan dampak negatif berupa penangkapan berlebih terhadap spesies sidat, terutama yang hidup di daerah subtropis. Beberapa spesies sidat subtropis bahkan telah dimasukkan dalam daftar CITES yang pemanfaatannya sangat dibatasi karena populasinya yang sudah terbatas (Ndobe, 2010). Spesies sidat yang saat ini sudah dibatasi pemanfaatannya antara lain Anguilla japonica dan Anguilla anguilla (Noor & Abidin, 2009).
Hal ini menjadi berkah tersendiri bagi negara-negara penghasil sidat lainnya. Terlebih bagi Indonesia, karena tidak seperti negara produsen sidat lain yang umumnya konsumsi sidatnya juga tinggi, masyarakat Indonesia tidak atau belum familiar dengan olahan sidat karena harganya yang tergolong mahal serta belum mengetahui manfaat mengkonsumsi sidat. Dengan demikian, produksi sidat Indonesia dapat dimaksimalkan untuk memenuhi pasar ekspor. Faktanya, saat ini Indonesia merupakan salah satu eksportir utama sidat dunia bersama China dan Myanmar. Bahkan dalam dua tahun terakhir (2019 – 2020), Indonesia merupakan eksportir nomor satu sidat di dunia dengan volume ekspor di atas 10.000 ton per tahun atau sekitar 25% dari total ekspor sidat dunia.
Namun ironisnya, dari sisi nilai, Indonesia hanya berada di peringkat 7 dengan nilai ekspor pada tahun 2020 sebesar USD 15 juta, jauh di bawah China yang di tahun yang sama nilai ekspor sidat nya melebihi USD 215 juta.
Table 2. Nilai ekspor sidat tahun 2020
Kondisi di atas menjadi indikator bahwa ekspor sidat Indonesia lebih banyak dalam bentuk bernilai rendah. Bila melihat data trademap, sebenarnya sidat Indonesia mayoritas diekspor dalam bentuk olahan/ beku (73%). Namun demikian, bila melihat nilainya yang masih rendah, kemungkinan besar ekspor tersebut dalam bentuk produk setengah jadi. Hal lain yang dapat memperkuat asumsi ini adalah negara tujuan ekspor sidat Indonesia adalah China yang juga merupakan negara eksportir utama sidat, sehingga ada kemunginan sidat setengah jadi tersebut diolah lebih lanjut untuk selanjutnya diekspor kembali.
Terkait dengan hal ini, perlu dilakukan strategi yang tepat dengan melibatkan seluruh stakeholder baik itu pelaku usaha, pemerintah, akademisi/ peneliti, komunitas, dan media (pentahelix collaboration) agar produk sidat Indonesia dapat diekspor dalam bentuk yang bernilai tambah tinggi, misalnya dalam bentuk kabayaki (sidat panggang berbumbu). Ekspor dalam bentuk bernilai tinggi ini dapat menimbulkan efek berganda (multiplier effect), tidak hanya bagi Unit PengoIahan Ikan (UPI), dimana menurut data KKP terdapat 8 UPI pengolah sidat di seluruh Indonesia, juga bagi pelaku usaha di sisi hulu (budidaya/ pembesaran sidat). Namun demikian, pemanfatan ini tentunya perlu tetap memperhatikan prinsip-prinsip keberlanjutan/ sustainability agar keberadaan sidat di Indonesia dapat terus terjaga.
Dikutip dari kkp.go.id
Referensi
Affandi, R. (2016). Pengembangan Sumber Daya Ikan Sidat (Anguilla Spp) di Indonesia. Pengembangan Teknologi Perikanan dan Kelautan untuk Memperkuat Ketahanan Pangan serta Memacu Perekonomian Nasional secara Berkelanjutan. Bogor: PT. Penerbit IPB Press.
FAO. (2020). The State of World Fisheries and Aquaculture 2020. Sustainability in action. Rome: Food and Agriculture Organization of the United Nations.
Nafsiyah, I., Nurilmala, M., & Abdullah, A. (2018). Komposisi Nutrisi Ikan Sidat Anguilla bicolor bicolor dan Anguilla marmorata. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia , Volume 21 Nomor 3.
Ndobe, S. (2010). Struktur Ukuran Glass Eel Ikan Sidat (Anguilla marmota) di Muara Sungai Palu, Kota Palu, Sulawesi Tengah. Media Litbang Sulteng III (2), 144 – 150.
Noor, A. Y., & Abidin, Z. (2009). Daya Saing Ikan Sidat (Anguilla sp) Indonesia Di Pasar Internasional. Journal of Economic and Social of Fisheries and Marine 07(01), 44 – 58.
Sutardjo, S. C. (2014). Kebijakan Pembangunan Kelautan dan Perikanan ke Depan. Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia Vol 6, No 1, 37 – 42.
www.trademap.org