“Korupsi harus diberantas sampai pada akar-akarnya, dengan tidak memandang bulu. Jika tiba di mata tidak dipicingkan, tiba di perut tidak dikempiskan.” — Bung Hatta
Oleh : Gencar Djarod / koranindigo
INDONESIA sedang tidak baik-baik saja, meskipun kita merayakan 79 tahun kemerdekaan, ada satu musuh besar yang belum berhasil kita kalahkan: korupsi.
Refleksi nasionalisme dan proklamasi selalu membahana sepanjang bulan Agustus. Maklum, pada bulan ini bangsa kita sedang memperingati hari kemerdekaannya.
Semangat itu tidak cukup bila hanya diperingati lewat puncaknya, yakni upacara bendera, tetapi mendesak untuk direnungkan lebih mendalam agar tidak hampa dari makna.
Nasionalisme selalu saja diidentikkan dengan pengertian cinta tanah air dan semangat melawan penjajahan asing. Singkatnya, nasionalisme adalah sikap menolak kolonialisme.
Pemahaman itu tidak salah karena memang bangsa ini dulu merdeka berkat kegigihannya melawan penjajah Belanda.
Namun dengan bergulirnya zaman, terjadinya regenerasi anak bangsa, serta berubahnya sifat dan bentuk penjajahan, kiranya nasionalisme itu perlu dikontekstualkan terus-menerus.
Sesungguhnya, kemerdekaan bukan hanya soal bebas dari penjajahan, tetapi juga terbebas dari segala bentuk ketidakadilan dan penindasan, termasuk korupsi yang terus menggerogoti sendi-sendi bangsa ini.
Hari ini, kita menyaksikan bahwa korupsi telah (?) menjelma menjadi sebuah “budaya” yang merasuki berbagai aspek kehidupan, dari birokrasi hingga politik, dari sektor publik hingga swasta.
Korupsi tidak lagi hanya terjadi di balik layar, tetapi terang-terangan dipertontonkan tanpa rasa malu atau takut.
Kini musuh kita bukan lagi kolonial bangsa asing semata yang menciptakan kita miskin, terbelakang, tertindas, kemakmuran tidak merata, pengangguran terus meningkat jumlahnya, dan kemampuan daya beli masyarakat menurun.
Musuh terberat adalah bangsa kita sendiri, yakni para koruptor. Koruptor telah mencuri uang rakyat bukan hanya miliaran rupiah per tahun, melainkan triliunan rupiah.
Pelaku korupsi adalah pengkhianat. Prilaku korupsi adalah pengkhianatan terhadap cita-cita kemerdekaan dan amanah rakyat yang telah berjuang demi Indonesia yang adil dan sejahtera.
Perilaku korupsi yang kini sudah melampaui batas dan tanpa ada rasa malu merupakan ancaman terbesar bangsa Indonesia saat ini. Korupsi yang merajalela adalah wujud pengkhianatan terhadap cita-cita didirikannya negara.
Perilaku korup juga mengkhianati proklamasi kemerdekaan yang dikumandangkan 79 tahun lalu.
Korupsi yang sudah melewati batas ambang sadar seperti saat ini sebenarnya jauh lebih berbahaya daripada penjajahan bangsa asing.
Sebab, para koruptor adalah bangsa sendiri, yang memiliki kedudukan terhormat dan pengaruhnya besar.
Mereka bisa leluasa menggunakan uang, kekayaan, dan aset negara semaunya tanpa kontrol. Perilaku busuknya sulit diperangi. Ini berbeda dengan penjajah asing yang terlihat secara fisik dan mudah diperangi.
Dalam peringatan HUT ke-79 ini, kita mesti berani bertanya pada diri sendiri: apakah kita benar-benar telah merdeka jika korupsi masih merajalela?
Dalam menjawab pertanyaan ini, kita perlu merenungkan makna sejati dari kemerdekaan yang telah diperjuangkan oleh para pahlawan bangsa.
Di sinilah perlunya menumbuhkan semangat nasionalisme baru berupa terwujudnya Indonesia tanpa korupsi.
Semangat melawan korupsi harus dimaknai sebagai bentuk nasionalisme baru. STOP korupsi harus bisa menjadi semangat bersama semua elemen bangsa untuk bisa menyelamatkan bangsa ini dari cengkeraman penjajahan para koruptor.
Tanpa semangat dan nasionalisme baru berupa sikap antikorupsi, omong kosong korupsi akan bisa dikurangi. Menurut penulis, renungan ini menjadi penting digelorakan pada bulan Agustus ini. (*)