Ibarat bom waktu yang terus berdetak, bahaya paten pertambangan ilegal kian mendekat. Para pelaku tambang liar semakin berani beraksi, seakan hukum sudah tidak ada lagi. Pemerintah harus bertindak tegas tanpa kompromi, sebelum semua menjadi terlambat.
DUA pekerja di lokasi tambang emas ilegal kawasan Poboya, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu, Sulawesi Tengah (Sulteng) dilaporkan telah meregang nyawa tertimbun material longsor.
Peristiwa tersebut, diperkirakan akibat longsoran batu dari atas gunung menimpa para korban saat mereka berada di bagian bawah area tambang.
Kapolresta Palu, Kombes Pol Deny Abrahams membenarkan perihal tewas dua pekerja di area tambang ilegal Poboya itu.
“Benar, kami menerima laporan adanya dua korban jiwa akibat aktivitas tambang ilegal di kawasan Kijang 30. Dugaan awal, korban tertimpa material longsoran batu dari atas bukit,” kata Deny Abrahams dalam keterangan tertulisnya, Selasa (3/6).

Korban jiwa terus berjatuhan, akibat praktik penambangan liar. Kegiatan penambangan ilegal memiliki resiko tinggi pada kecelakaan kerja.
Penambangan liar, jelas tidak menerapkan standar keselamatan dan kaidah pertambangan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pemerintah daerah, aparat penegak hukum dan instansi terkait harus meningkatkan pembinaan, pengawasan serta penertiban terhadap aktivitas pertambangan belum memenuhi ketentuan.
BACA JUGA:
Patgulipat Tambang Ilegal Kian Marak
Gubernur Akan Tutup Tambang Ilegal, Cabut IPR Tidak Sesuai Aturan
Lolos Penertiban Polisi, Kayuboko Masih Status Ilegal
Hal tersebut tentunya agar kegiatan pertambangan dilakukan secara legal dan berkelanjutan, guna menjaga keselamatan pekerja, melindungi lingkungan, serta memastikan manfaat sumber daya alam dapat dinikmati secara adil.
Merujuk data Kementerian ESDM, terdapat sekitar 2.700 tambang ilegal tersebar di Indonesia.
Dari jumlah tersebut, 2.600 lokasi adalah pertambangan mineral dan 96 lokasi merupakan pertambangan batubara.
Ribuan tambang ilegal itu menjamur di 28 provinsi, sebagian di antaranya adalah Jawa Timur sebanyak 649 titik, Sumatera Selatan 562 titik, Jawa Barat 300 titik, Jambi 178 titik, Nusa Tenggara Timur 159 titik, Banten 148 titik, Kalimantan Barat 84 titik, Sulawesi Tengah 12 titik, dan Kalimantan Timur sebanyak 168 titik.

Pertambangan tanpa izin merupakan ancaman besar bisa meledak kapan saja. Aktivitas pengerukan tanah berlangsung tanpa henti, merusak ekosistem telah ada selama berabad-abad.
Para penambang bekerja tanpa rasa takut, seolah hukum hanya ilusi belaka. Namun, menjadi sebuah pertanyaan adalah, siapa memberikan mereka perlindungan.
Keuntungan dari praktik pertambangan liar dinikmati segelintir elite, sementara masyarakat hanya mendapatkan dampak buruknya.
Pertanian gagal panen, air bersih semakin sulit didapat, dan ketegangan sosial meningkat.
Warga yang berani bersuara, menghadapi ancaman dari pihak-pihak tidak kasat mata membekingi praktik tambang liar.
Bahaya paten tambang ilegal. Pemerintah harus bertindak tegas tanpa kompromi.
Para cukong mendanai aktivitas pertambangan liar harus diganjar Pasal 161 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, dengan ancaman hukuman penjara hingga 5 tahun dan denda maksimal Rp100 miliar.
Sementara itu, jika ada oknum aparat terbukti melindungi keberadaan pertambangan ilegal harus menghadapi Pasal 423 KUHP tentang penyalahgunaan wewenang, dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara.
Apabila, keterlibatan para oknum aparat ini termasuk dalam kategori tindak pidana korupsi (tipikor), maka hukuman bisa meningkat hingga 20 tahun penjar, berdasar Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Apakah pemerintah akan terus membiarkan bom waktu ini berdetak, atau segera mengambil tindakan sebelum terlambat.
Dan, jawaban atas pertanyaan itu harus segera datang sebelum kerusakan menjadi tak terpulihkan.
(GENCAR W DJAROD)












