KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) memberikan warning atau peringatan keras kepada seluruh anggota DPRD agar tidak bermain-main dan berpesta pora dalam program pokok pikiran (pokir).
KPK melihat praktik permainan pokir tergolong tinggi. Lembaga anti-rasuah KPK melansir bahwa, dana pokir bukan merupakan ajang bagi-bagi jatah para anggota dewan.
Terkair Pokir, menurut lansiran KPK, tidak ada aturan mewajibkan kepala daerah untuk membagi secara rata kepada seluruh anggota.
BERITA:
Modus Operasi Korupsi di DPRD
Data menyebut, dugaan permainan pokir terjadi di hampir seluruh kabupaten/kota. Nominal permainan pokir itu bahkan mencapai miliaran rupiah.
Pokir anggota DPRD seharusnya mengacu pada postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
KPK mengaskan bahwa jangka waktu kedaluwarsa perkara di Indonesia adalah 18 tahun.
Sehingga, Artinya, perkara melibatkan anggota dewan dapat diproses sewaktu-waku, meski tidak lagi menjabat.
Ladang Duit Anggota DPRD
PRAKTIK Pokir selama ini telah berujung pada sejumlah penyimpangan. Pokir tak lebih dari “penitipan proyek” para anggota DPRD.
Pembahasan anggaran antara anggota komisi DPRD dan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) sudah menjadi rahasia umum telah berujung pada usulan proyek tertentu dengan mengatasnamakan Pokir DPRD.
Jika orang bicara soal Pokir, aspek pokok pikiran tidak tampak.
Dan, yang tampak adalah dimensi anggaran atau duit. Pokir menjadi uang proyek dikelola oleh anggota DPRD.
Pokir adalah pola atau modus korupsi yang dibungkus dengan kebijakan Pokir.
Gagasan Pokir muncul seiring dengan korupsi dana bantuan sosial (Bansos) yang masif di mana-mana dan melibatkan pelaku dari kalangan eksekutif.
Proyek Pokir adalah pekerjaan pemburu rente saling menyandera untuk saling melindungi untuk memperbesar pundi-pundi anggota DPRD.
Bertentangan dengan Konstitusi
Proses penyusunan dan pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan sektor paling rawan untuk dikorupsi. Proses ini seakan menjadi lahan basah bagi para koruptor di daerah.
Setelah ditelisik, kebijakan Pokir DPRD ternyata bertentangan dengan konstitusi, putusan pengadilan,dan banyak undang-undang.
Itu sebabnya, setidaknya terdapat 3 (tiga) poin penting alasan kenapa kebijakan pokir ini dinilai bersebrangan dengan konstitusi dan undang-undang terkait.
Pertama, secara harfiahnya tugas dan fungsi DPRD sudah jelas dalam konstitusi yaitu fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran.
Salah satu fungsi yang seringkali mengalami benturan itu adalah fungsi anggaran.
Di mana, dalam Pasal 23 UUD 1945 tegas menjelaskan bahwa rancangan undang-undang APBN diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama DPR.Meskipun DPRD merupakan lembaga representatif yang terdapat daerah, tapi tetap saja DPRD merupakan rumpun kekuasaan legislatif yang juga memiliki 3 (tiga) fungsi tersebut.
Hanya saja secara hukum positif, DPRD merupakan bahagian dari Pemerintahan Daerah. Itu sebabnya, kewenangan DPRD tersebut secara detail diatur melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.Di mana, di dalam UU Pemerintahan Daerah terdapat 2 (dua) esensi utama fungsi DPRD.
Pertama, fungsi DPRD terkait pembahasan rancangan Peraturan Daerah tentang APBD yang diajukan oleh Kepala Daerah untuk dibahas bersama dengan DPRD.
Kedua, soal fungsi anggaran DPRD yang secara hakiki adalah mengawasi setiap kebijakan fiskal yang dijalankan oleh Pemerintah Daerah.
Berdasarkan dua esensi utama fungsi tersebut, jika menggunakan tafsir konstitusi, DPRD tidak memiliki fungsi ataupun kewenangan untuk membahas anggaran hingga menjangkau sampai ke tingkat kegiatan dan jenis belanja pada saat pembahasan APBD atau dikenal dengan istilah satuan tiga untuk menjalankan pokir tersebut.
Artinya fungsi DPRD yang seharusnya sebagai legislator perlahan bergeser menjadi eksekutor. Padahal, secara konstitusional yang berwenang untuk membahas satuan tiga itu murni kekuasaan eksekutif dalam hal ini Pemerintah Daerah.
Kedua, dengan tidak adanya kewenangan DPRD membahas anggaran hingga satuan tiga, secara eksplisit pun DPRD tidak berwenang untuk membahas dokumen anggaran yang memuat deskripsi (gambaran) program dan rincian alokasi pagu anggaran per Program, berdasarkan Unit Eselon II, dan Iingkup Satuan Kerja Perangkat Daerah.
Dasar hukumnya cukup jelas berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-XI/2013 tentang Pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. MK secara tegas menyatakan in-konstitusional terhadap kewenangan DPR untuk melakukan pembahasan sampai pada jenis dan bentuk daripada program pembangunan yang akan masuk dalam APBN.
Meskipun DPR yang dimaksud di dalam Pasal 15 ayat 5 UU Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara tersebut, namun hal yang sama juga berlaku bagi DPRD.
Terlebih Mendagri sudah mengeluarkan surat edaran penganggaran daerah mengikuti pemerintah pusat sesuai dengan putusan MK tersebut.
Namun, hal itu juga tidak diindahkan oleh DPRD sebagai lembaga representatif daerah sebab DPRD ditamengi oleh Pasal 55 huruf (a) Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2010 tersebut.
Seharusnya, Pasal 55 huruf (a) Peraturan Pemerintah tersebut secara langsung harus luruh sejak diberlakukannya Putusan MK Nomor 35/PUU-XI/2013.
Jika kebijakan tersebut tetap dijalankan, tentu akan merugikan keuangan negara dan anggaran yang dianggarkan juga tidak proporsional.
Karena sesungguhnya kebijakan untuk mengeksekusi sebuah anggaran adalah murni kekuasaan eksekutif.
Ketiga, berdasarkan rumusan Pasal 55 huruf (a), di mana salah satu tugas Badan Anggaran DPRD “memberikan saran dan pendapat berupa pokok-pokok pikiran DPRD kepada Kepala Daerah dalam mempersiapkan rancangan anggaran pendapatan dan belanja daerah paling lambat 5 (lima) bulan sebelum ditetapkannya APBD”.
Ketentuan ini harus dibaca secara rigid bahwa poin pertama, penyampaian pokir DPRD itu merupakan tugas Badan Anggaran DPRD sebagai salah satu alat kelengkapan DPRD.
Artinya, hanya Badan Anggaran DPRD yang memiliki tugas ini; kedua, pokir ini disampaikan kepada Kepala Daerah.
Karena tidak ada ketentuan yang menjelaskan Pemerintah Daerah atau Kepala Daerah atau yang mewakilinya, maka penyampaian pokir disampaikan langsung kepada kepala daerah;
Ketiga, Pokir sebatas saran dan pendapat. Dalam konteks hukum, saran dan pendapat tidak bersifat mengikat atau suatu keharusan untuk dilaksanakan.
Oleh karena itu, berdasarkan 3 pertimbangan dimaksud kebijakan untuk pelaksanaan pokir DPRD harus ditinjau ulang baik dari aspek implementasi maupun aspek pertanggungjawaban keuangan.
Sebab, bila disandingkan dengan peraturan-perundangan yang lebih tinggi termasuk Putusan MK, kebijakan pokir jelas bersebrangan dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Jika semua aturan hukum diterobos, sistem pengawasan pun dikesampingkan, maka pokir akan menjadi bom waktu bancakan korupsi di daerah. ***